
Masalahnya
Medan, 10 November 2025
SURAT TERBUKA KEPADA PARA PIMPINAN DAN ANGGOTA LEMBAGA TINGGI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Perihal: Penolakan Kedatangan Ratu Belanda ke Indonesia dan Seruan Meninjau Kembali Hubungan Diplomatik dengan Kerajaan Belanda
Kepada Yth.
Para Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara Republik Indonesia
Dengan hormat,
Kami, bangsa Indonesia yang merdeka, berduka cita mendengar kabar dari Presiden Prabowo bahwa pada tanggal 25 November 2025 Ratu Máxima dari Belanda akan datang ke Indonesia sebagai ahli keuangan yang akan berdiskusi dengan ahli-ahli keuangan Indonesia untuk “membantu keuangan rakyat yang belum mahir, belum pandai soal keuangan.” (https://www.presidenri.go.id/siaran-pers/presiden-prabowo-tiba-di-tanah-air-usai-rampungkan-lawatan-ke-empat-negara-mitra-strategis/
Sekira delapan puluh tahun sejak Proklamasi Kemerdekaan, bangsa Indonesia terus menanggung warisan luka dan penghinaan moral akibat narasi Belanda yang tidak pernah berubah – bahwa mereka tidak menjajah, melainkan menduduki “Hindia Belanda”, sebuah istilah yang sesungguhnya sangat menghina bangsa Indonesia yang telah merdeka.
Pandangan ini bukan hanya keliru secara historis, tetapi juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap kenyataan bahwa bangsa Indonesia pernah hidup di bawah pendudukan paksa, penindasan ekonomi, dan kekerasan sistematis yang dilakukan aparat bersenjata Belanda, sama halnya seperti Jerman yang pernah menduduki Belanda pada Perang Dunia II.
Lebih menyedihkan lagi, pemerintah Indonesia sendiri tampak tidak menghargai penuh para korban perjuangan bangsa. Di tempat seperti Rawagede (kini Desa Balongsari, Karawang), 431 warga sipil Indonesia dieksekusi tanpa proses hukum oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947. Namun hingga kini, pengakuan dan penghormatan atas pengorbanan mereka masih minim, bahkan terpinggirkan dalam narasi resmi.
Peristiwa serupa juga tercatat di Sulawesi Selatan, di mana Kapten Blume dari Belanda bertanggung jawab atas eksekusi Kapten Abubakar Lambogo dari Indonesia. Kedua kapten ini sama-sama menerima penghargaan, namun hanya satu yang mati terpenggal. Kisah tragis ini menjadi simbol ketimpangan moral antara mereka yang berjuang untuk tanah air dan mereka yang menindas atas nama kekuasaan asing.
Berdasarkan sejarah kelam itu, dengan kesadaran penuh atas kedaulatan bangsa, kami menyatakan tiga sikap tegas:
1. Menolak kedatangan Ratu Belanda ke Indonesia dalam bentuk apapun, termasuk yang berkedok kerjasama ekonomi, finansial, atau sosial, selama Belanda tidak mengakui secara penuh dan jujur bahwa mereka pernah menduduki Indonesia secara ilegal dan melakukan kekerasan sistematis terhadap rakyat.
2. Menuntut Pemerintah Republik Indonesia untuk meninjau ulang keberadaan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta sampai ada langkah konkret berupa pengakuan resmi dan permintaan maaf penuh kepada bangsa Indonesia, bukan sekadar kepada individu atau keluarga korban.
3. Menyerukan agar Pemerintah Belanda memulangkan jenazah kejahatan perang warga negaranya yang dimakamkan di makam kehormatan (Ereveld) di Indonesia, seperti yang berada di Ereveld Kembang Kuning, Ereveld Kalibanteng, Ereveld Candi, Ereveld Pandu, Ereveld Leuwigajah, Ereveld Ancol, dan Ereveld Menteng Pulo. Selama mereka tetap dimuliakan di tanah ini tanpa pengakuan dan pertanggungjawaban atas kejahatan masa lalu, luka bangsa Indonesia tidak akan pernah benar-benar sembuh.
Daripada “membantu keuangan rakyat yang belum mahir, belum pandai soal keuangan,” jauh lebih bermartabat jika Ratu Belanda mengembalikan kekayaan yang diperoleh dari hasil pendudukan ilegal Belanda dalam segenap bentuknya. Tindakan seperti ini jauh lebih bermanfaat dan bermartabat bagi bangsa Indonesia yang telah mengorbankan jiwa dan raga untuk kemerdekaan dan pembangunan Indonesia!
Hormat kami,
Bangsa Indonesia, yang diwakili:
indonesiamenggugat.com
Shohibul Anshor Siregar, Koordinator Umum ‘nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya)
Jeffrey Pondaag, Ketua KUKB (Komite Utang Kehormatan Belanda)
Surya Dalimunthe, Koordinator Advokasi ‘nBASIS
Ichsanuddin Noorsy, Koordinator Presidium Konstitusi
Andini Handayani, EKKONS (Ekonomi Konstitusi)
Salman Nasution, Dosen UMSU (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Tondi Rangkuti, Pengurus Yayasan Martondi Heritage Foundation
M. Jehansyah Siregar, Dosen ITB (Institut Teknologi Bandung)
Andyoda Siregar, Alumni UISU (Universitas Islam Sumatera Utara)
Rion Arios, S H., M.H., Managing Partner KARA Lawyers
Saptari Wibowo, Penemu MENUA (Meta Numerical Analysis)
Rahmad Hasibuan, Alumni USU (Universitas Sumatera Utara) dan UI (Universitas Indonesia)
Hasrita, Dosen UISU
Anang Tripambudi, Peneliti Supra-Kesadaran
Yenny Puspitasari, Siswa LBIQ
PETISI: https://www.change.org/p/surat-terbuka-penolakan-kedatangan-ratu-belanda-ke-indonesia
